Sengketa Kepabeanan dan Peran Pengadilan Pajak dalam Penyelesaiannya

Afditya Fahlevi 21 Oct 2025
Sengketa kepabeanan merupakan perselisihan antara importir atau eksportir dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terkait penetapan atau pelaksanaan ketentuan di bidang kepabeanan. 

Sengketa ini biasanya muncul akibat perbedaan pendapat mengenai nilai pabean, tarif bea masuk, klasifikasi barang, atau penerapan peraturan yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan impor. 

Karena menyangkut hak dan kewajiban keuangan negara serta pelaku usaha, penyelesaian sengketa kepabeanan diatur secara hukum melalui mekanisme keberatan dan banding di Pengadilan Pajak.

Sengketa biasanya bermula ketika Bea dan Cukai mengeluarkan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) atau dokumen sejenis yang menetapkan adanya kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, atau pajak impor.

Importir atau eksportir yang tidak sependapat dengan hasil penetapan tersebut berhak mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal diterimanya surat penetapan. 

Dalam proses keberatan ini, pihak yang bersengketa harus memberikan bukti dan argumen hukum yang mendukung klaimnya, seperti dokumen transaksi, kontrak dagang, atau hasil audit independen.

Apabila keputusan atas keberatan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masih dianggap tidak memuaskan, maka langkah hukum berikutnya adalah mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. 

Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan khusus di bawah Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa di bidang perpajakan dan kepabeanan. 

Melalui proses persidangan, majelis hakim akan menilai apakah keputusan Bea Cukai sudah sesuai dengan ketentuan hukum, data dokumen, dan fakta transaksi.

Dalam pemeriksaan di Pengadilan Pajak, baik pihak importir maupun pihak Bea Cukai diberi kesempatan untuk menyampaikan argumentasi dan bukti masing-masing. Hakim pajak kemudian akan mempertimbangkan semua data untuk memutus apakah penetapan yang dilakukan Bea Cukai sah atau perlu diperbaiki.

Putusan Pengadilan Pajak bersifat final dan mengikat, yang berarti tidak dapat diajukan banding lagi kecuali melalui mekanisme peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung jika ditemukan bukti baru atau kekeliruan hukum yang serius.

Keberadaan Pengadilan Pajak memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pelaku usaha dalam menghadapi sengketa kepabeanan. 

Proses ini memastikan bahwa keputusan pemerintah dalam hal penetapan bea masuk dan pajak impor dapat diuji secara objektif dan transparan berdasarkan hukum yang berlaku. 

Selain itu, mekanisme ini juga mendorong Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk lebih hati-hati dan akurat dalam menentukan nilai pabean serta klasifikasi barang agar tidak menimbulkan ketidakadilan bagi dunia usaha.

Dengan adanya sistem penyelesaian sengketa kepabeanan melalui Pengadilan Pajak, keseimbangan antara kepentingan negara dan hak wajib pajak dapat terjaga. 

Proses hukum ini bukan sekadar upaya administratif, tetapi juga bagian dari komitmen negara dalam mewujudkan tata kelola kepabeanan yang adil, transparan, dan akuntabel dalam mendukung kelancaran kegiatan perdagangan internasional.